BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bagi suatu negara, pendidikan merupakan realisasi kebijaksanaan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan yang dicita-citakan. Pendidikan merupakan komponen pokok dalam pembinaan landasan pengembangan sosial budaya. Pendidikan juga sekaligus penegak kemanusiaan yang berperadaban tinggi. Pendidikan tidak bisa lepas dari kehidupan sosial. Artinya, pendidikan untuk kesejahteraan manusia dunia-akhirat sehingga perlu diaplikasikan (QS. 28:77) sebab pendidikan memiliki nilai teologis dan sosiologis sekaligus.
Karenanya, proses belajar mengajar merupakan kebutuhan penting hidup manusia. Hal ini harus dirasakan bersama oleh setiap individu laki-laki dan perempuan tanpa pandang bulu. Karena sama-sama memiliki kemampuan untuk belajar. Semakin lama, setiap aspek kehidupan manusia berkembang, kebutuhannya pun kian beragam. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan harus saling membantu, bekerja sama meniti jalan dan mengatasi masalah kehidupan yang mereka hadapi.
Kesenjangan pada bidang pendidikan dianggap menjadi faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap bidang lain di Indonesia, hampir semua sektor, seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran dimasyarakat sampai pada masalah menyuarakan pendapat antara laki-laki dan perempuan yang menjadi faktor penyebab bias gender adalah karena faktor kesenjangan pendidikan yang belum setara selain masalah-masalah klasik yang cenderung menjustifikasi ketidakadilan seperti intepretasi teks-teks keagamaan yang tekstual dan kendala sosial budaya lainnya. Bahkan proses dan institusi pendidikan dipandang berperan besar dalam mensosialisasikan dan melestarikan nilai-nilai dan cara pandang yang mendasari munculnya berbagai ketimpangan gender dalam masyarakat.
Dalam dekade terakhir ini, upaya penyadaran gender menjadi perbincangan serius di kalangan aktivis perempuan, keluarga-keluarga, wartawan, dunia pendidikan maupun kalangan politisi. Begitupun strategi-strategi telah ditawarkan dengan tujuan agar kesetaraan gender tercapai terutama dalam pendidikan yang dianggap dimensi kunci. Dari sinilah kami akan mencoba memberikan sedikit penjelasan mengenai kesetaraan gender dalam bidang pendidikan.
B. Rumusan Masalah1. Apakah pengertian gender?
2. Apakah pengertian status sosial?
C. Tujuan Penulisan
Dengan adanya penulisan makalah pendidikan dan kesetaraan gender ini diharapkan mahasiswa sebagai calon pendidik dan anggota masyarakat mampu menganalisis tentang kesetaraan gender dalam perspektif pendidikan, sehingga mempunyai wawasan yang luas dan menambah peran aktif dalam menciptakan pendidikan dengan setara bagi semua orang yang terlibat di dalamnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN GENDER
Hal penting yang perlu dilakukan dalam kajian gender adalah memahami perbedaan konsep gender dan seks (jenis kelamin). Kesalahan dalam memahami makna gender merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sikap menentang atau sulit bisa menerima analisis gender dalam memcahkan masalah ketidakadilan sosial.
Seks adalah perbedaan lakilaki dan perempuan yang berdasar atas anatomi biologis dan merupakan kodrat Tuhan. Menurut Mansour Faqih, sex berarti jenis kelamin yang merupakan penyifatan atau pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Perbedaan anatomi biologis ini tidak dapat diubah dan bersifat menetap, kodrat dan tidak dapat ditukar. Oleh karena itu perbedaan tersebut berlaku sepanjang zaman dan dimana saja.
Sedangkan gender, secara etimologis gender berasal dari kata gender yang berarti jenis kelamin . Tetapi Gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan oleh perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan, melainkan diciptakan baik oleh laki-laki maupun perempuan melalui proses sosial budaya yang panjang. Perbedaan perilaku antara pria dan wanita, selain disebabkan oleh faktor biologis sebagian besar justru terbnetuk melalu proses sosial dan cultural. Oleh karena itu gender dapat berubah dari tempat ketempat, waktu ke waktu, bahkan antar kelas sosial ekonomi masyarakat.
Dalam batas perbedaan yang paling sederhana, seks dipandang sebagai status yang melekat atau bawaan sedangkan gender sebagai status yang diterima atau diperoleh.
Mufidah dalam Paradigma Gender mengungkapkan bahwa pembentukan gender ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos seolah-olah telah menjadi kodrat laki-laki dan perempuan.
Gender merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi, gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan measure (pengukuran) terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata, tetapi juga kepada laki-laki.. Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan sekarang adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk mengejar kesetaraan gender yang telah diraih oleh laki-laki beberapa tingkat dalam peran sosial, terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah diharapkan dapat mendorong perubahan kerangka berpikir, bertindak, dan berperan dalam berbagai segmen kehidupan sosial.
B. PENGERTIAN STATUS SOSIAL
Variasi sosial pengguna bahasa yang pertama ditinjau dari
segi status sosial. Jika kita membicarakan status sosial seseorang, tentu saja
akan berkaitan dengan keberadaannya dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu,
perlu juga dipahami bahwa status sosial ini terdapat dalam kelas sosial.
Sumarsono (2007: 43) menjelaskan bahwa kelas sosial (social class)
mengacu pada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang
kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan
sebagainya.
Seorang individu mungkin memiliki status sosial yang lebih
dari yang lain. Sebagai contoh, seseorang, sebut saja A, adalah seorang bapak
di keluarganya, yang juga berstatus sosial sebagai guru. Jika dia guru di
sekolah negeri, dia juga masuk ke dalam kelas pegawai negeri. Jika dia seorang
sarjana, dia dapat masuk kelas sosial golongan “terdidik”. Kita juga
mengenal kelas pegawai, kelas buruh, kelas pedagang, kelas petani, dan
sebagainya.
Kasta biasanya dianggap sebagai salah satu jenis kelas
sosial. Akan tetapi, menurut Sumarsono (2007: 44), ada satu hal yang dapat
membedakan kasta dari kelas sosial yang lain, yaitu pada kasta orang tidak
boleh seenaknya bebas memasuki golongan. Orang yang dilahirkan dari keluarga
kasta brahmana pasti dan harus menjadi anggota kasta itu. Orang yang lahir dari
keluarga kasta sudra tidak boleh masuk menjadi anggota kasta brahmana. Lain
halnya dengan kelas sosial, seorang buruh pabrik karena ketekunan dan usahanya
mampu naik kariernya, menjadi manajer misalnya, sehingga dia akan menjadi
anggota kelas manajer. Jadi dapat disimpulkan bahwa kasta bersifat tertutup,
sedangkan kelas sosial lain bersifat terbuka yang memungkinkan adanya mobilitas
sosial, yaitu berpindahnya seseorang dari kelas ke kelas. Labov (Brown &
Attardo, 2000: 102) berhipotesis bahwa penutur memiliki perbedan frekuensi
dalam menggunakan bentuk-bentuk prestige suatu bahasa
berdasarkan latar belakang kelas sosial. Menurut Brown dan Attardo (2000: 103),
hipotesis yang dikemukakan oleh Labov tersebut terbukti benar, yaitu bahwa
kelas sosial memiliki dampak pada penggunaan bentuk-bentuk prestige suatu
bahasa.
Salah satu contoh penelitian tentang hubuangan kelas sosial dengan ragam
baku dilakukan di Detroit (AS) dan Norwich (Inggris) dengan menggunakan
berbagai tingkat kelas sosial sebagai informannya. Hasilnya, semakin rendah
kelas sosial seseorang, semakin banyak pemakaian bentuk nonbaku dari suatu
bahasa.Penelitian yang berperan penting dalam hubungan dengan kelas sosial, khususnya tentang lapisan sosial ini adalah penelitian yang dilakukan oleh William Labov. Penelitian Labov (1966) melalui Milroy dan Milroy (1998: 38) dan Sumarsono (2007: 49) dilakukan untuk meneliti variasi bahasa dengan berbagai variasi kelas sosial di kota New York. Labov menggunakan 340 orang sebagai sampel yang dipilih secara acak (random sampling). Labov dapat membuktikan bahwa seorang individu dari kelas sosial tertentu, umur tertentu, jenis kelamin tertentu akan menggunakan variasi bentuk bahasa tertentu; sehingga dengan cara ini kita sekarang dapat membuat korelasi antara ciri-ciri kebahasaan (linguistik) dengan kelas sosial.
C.HUBUNGAN PERAN DAN STATUS SOSIAL DENGAN KESETARAAN
GENDER
Konsep gender berbeda dengan sex,
sex merujuk pada perbedaan jenis kelamin yang pada akhirnya menjadikan
perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan, berdasar pada jenis kelamin
yang dimilikinya, sifat biologis, berlaku universal dan tidak dapat diubah.
Adapun gender (Echols dan Shadily, 1976, memaknai gender sebagai jenis kelamin)
adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara
sosial maupun kultural (Faqih, 1999), dengan begitu tampak jelas bahwa pelbagai
pembedaan tersebut tidak hanya mengacu pada perbedaan biologis, tetapi juga
mencakup nilai-nilai sosial budaya. Nilai-nilai tersebut menentukan peranan
perempuan dan laki-laki dalam kehidupan pribadi dan dalam setiap bidang
masyarakat (Kantor Men. UPW, 1997). Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa
gender adalah perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan karena
konstruksi sosial, dan bukan sekadar jenis kelaminnya. Dengan sendirinya gender
dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai kontruksi masyarakat yang bersangkutan
tentang posisi peran laki-laki dan perempuan.
Berikut ini beberapa pengertian
gender menurut para ahli, antara lain :
1) Gener adalah peran social dimana peran
laki-laki dan peran perempuan ditentukan (Suprijadi dan Siskel, 2004)
2) Gender adalah perbedaan status dan
peran antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh masyarakat sesuai
dengan nila budaya yang berlaku dalam periode waktu tertentu (WHO,2001).
3) Gender adalah perbedaan peran dan
tanggung jawab social bagi perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh budaya
(Azwar, 2001).
4) Gender adalah jenis kelamin social
atau konotasi masyarakat untk menentukan peran social berdasarkan jenis kelamin
(Suryadi dan Idris, 2004).
Berikut ini adalah teori tentang gender, antara lain :
1. Teori Kodrat Alam
Menurut teori ini perbedaan biologis yang membedakan
jenis kelamin dalam memandang gender (Suryadi dan Idris, 2004). Teori ini
dibagi menjadi 2 yaitu :
1)Teori Nature
Teori ini memandang perbedaan gender sebagai kodrat
alam yang tidak perlu dipermasalhkan
2)Teori Nurture
Teori ini memandang perbedaan gender sebagai hasil
rekayasa budaya dan bukan kodrati, sehingga perbedaan gender tidak berlaku
universal dan dapat dipertukarkan.
2) Teori Kebudayaan
Teori ini memandang gender sebagai akibat dari
kontruksi budaya (Suryadi dan Idris, 2004). Menurut teori ini terjadi
keunggulan laki-laki terhadap perempuan karena kontruksi budaya, materi, atau
harta kekayaan. Gender itu merupakan hasil proses budaya masyarakat yang
membedakan peran social laki-laki dan perempuan. Pemilahan peran social
berdasarkan jenis kelamin dapat dipertukarkan, dibentuk dan dilatihkan.
3) Teori Fungsional Struktural
Berdasarkan teori ini munculnya tuntutan untuk
kesetaraan gender dalam peran social di masyarakat sebagai akibat adanya
perubahan struktur nilai social ekonomi masyarakat. Dalam era globalisasi yang
penuh dengan berbagai persaingan peran seseorang tidak mengacu kepada
norma-norma kehidupan social yang lebih banyak mempertimbangkan factor jenis
kelamin, akan tetapi ditentukan oleh daya saing dan keterampilan (Suryadi dan
Idris, 2004)
Dalam banyak budaya tradisional,
perempuan ditempatkan pada posisi yang dilirik setelah kelompok laki-laki.
Fungsi dan peran yang diemban perempuan dalam mayarakat tersebut secara tidak
sadar biasanya dikonstruksikan oleh budaya setempat sebagai warga negara kelas
dua. Pada posisi inilah terjadi bias gender dalam masyarakat. Meski disadari
bahwa ada perbedaan-perbedaan kodrati makhluk perempuan dan laki-laki secara
jenis kelamin dan konstruksi tubuh, namun dalam konteks budaya peran yang
diembannya haruslah memiliki kesetaraan. Hingga saat ini masih ditengarai terjadi
ketidaksejajaran peran antara laki-laki dan perempuan, yang sebenarnya lebih
didasarkan pada kelaziman budaya setempat.Terkait dalam kehidupan keseharian,
konstruksi budaya memiliki kontribusi yang kuat dalam memposisikan peran
laki-laki - perempuan. Banyaknya ketidaksetaraan ini pada akhirnya memunculkan
gerakan feminis yang menggugat dominasi laki-laki atas perempuan.
Hal ini terjadi pada perempuan di
Dusun Kalitengah Lor, Glagahardjo, Cangkringan, Sleman, seluruhnya ikut bekerja
dengan mengandalkan kekuatan fisik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perempuan
ikut melakukan kegiatan pertanian, peternakan bahkan mencari pasir dan batu.
Lahan pertanian merupakan sumberdaya andalan sebagai sumber pendapatan guna
memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Seluruh lahan garapan berupa lahan kering
ditanami rumput dan kayu, lahan dekat pemukiman biasan ditanami polowijo
seperti ketela, jagung dan sedikit sayuran untuk konsumsi sendiri. Seluruh perempuan mempunyai mata
pencaharian sebagai petani dan peternak sebagai mata pencaharian pokok dan
perempuan yang mempunyai mata pencaharian tambahan mencapai 48,2 persen,
kelompok perempuan ini berarti mempunyai peran multiple role sebagai ibu
rumahtangga, petani dan peternak masih mempunyai kegiatan tambahan sebagai
pedagang, buruh serabutan, mencari pasir, batu dan hasil hutan.
Perbedaan laki- laki dan
perempuan dalam konstruksi sosial budaya telah merugikan perempuan seperti
melahirkan pembagian kerja yang tidak seimbang, perempuan mempunyai beban kerja
lebih berat apabila harus bekerja mencari nafkah. Subordinasi terhadap
perempuan dengan anggapan perempuan memiliki kualitas rendah telah merugikan
perempuan sehingga perempuan didorong untuk bertanggungjawab pada tugas
rumahtangga. Kegiatan rumahtangga tidak menghasilkan uang/ upah dan
kegiatan tersebut identik dengan perempuan bahkan selayaknya menjadi
kewajiban dan tanggung jawab perempuan. Kenyataan bahwa perempuan harus
bertanggung jawab atas seluruh beban kerja di rumahtangga meskipun
perempuan mampu memberikan sumbangan pendapatan dari pekerjaan di luar
rumah tangga.
Kerancuan dalam mempersepsi
perbedaan seks dalam kontek sosial budaya dan status, serta peran yang melakat
pada relai laki-laki perempuan pada akhirnya menumbuhsuburkan banyak
asumsi yang memposisikan perempuan sebagai subordinat laki-laki. Ketimpangan
relasi laki-laki perempuan ini muncul dalam anggapan, laki-laki memiliki sifat
misalnya assertif, aktif, rasional, lebih kuat, dinamis, agresif, pencari nafkah
utama, bergerak di sektor publik, kurang tekun. Sementara itu di lain sisi,
perempuan diposisikan tidak assertif, pasif, emosional, lemah, statis, tidak
agresif, penerima nafkah, bergerak di sektor domestik, tekun, dll
Contoh peran gender berbeda antara
satu masyarakat dengan masyarakat yang lain sebagai berikut:
(1). Masyarakat Bali menganut sistem kekerabatan patrilineal, berarti hubungan keluarga dengan garis pria (ayah) lebih penting atau diutamakan dari pada hubungan keluarga dengan garis wanita (ibu).
(2). Masyarakat Sumatera Barat menganut sistem kekerabatan matrilineal, berarti hubungan keluarga dengan garis wanita (ibu) lebih penting dari pada hubungan keluarga dengan garis pria (ayah).
(3). Masyarakat Jawa menganut sistem kekerabatan parental/ bilateral, berarti hubungan keluarga dengan garis pria (ayah) sama pentingnya dengan hubungan keluarga dengan garis wanita (ibu).
(1). Masyarakat Bali menganut sistem kekerabatan patrilineal, berarti hubungan keluarga dengan garis pria (ayah) lebih penting atau diutamakan dari pada hubungan keluarga dengan garis wanita (ibu).
(2). Masyarakat Sumatera Barat menganut sistem kekerabatan matrilineal, berarti hubungan keluarga dengan garis wanita (ibu) lebih penting dari pada hubungan keluarga dengan garis pria (ayah).
(3). Masyarakat Jawa menganut sistem kekerabatan parental/ bilateral, berarti hubungan keluarga dengan garis pria (ayah) sama pentingnya dengan hubungan keluarga dengan garis wanita (ibu).
Jadi status dan peran pria dan wanita berbeda antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, yang disebabkan oleh perbedaan
norma sosial dan nilai sosial budaya. Contoh peran gender berubah dari waktu ke
waktu sesuai dengan perkembangan jaman sebagai berikut. Pada masa lalu,
menyetir mobil hanya dianggap pantas dilakukan oleh pria, tetapi sekarang
wanita menyetir mobil sudah dianggap hal yang biasa. Contoh lain, pada masa
silam, jika wanita ke luar rumah sendiri (tanpa ada yang menemani) apalagi pada
waktu malam hari, dianggap tidak pantas, tetapi sekarang sudah dianggap hal
yang biasa.
Contoh peran gender yang dapat ditukarkan antara pria
dengan wanita sebagai berikut. Mengasuh anak, mencuci pakaian dan lain-lain,
yang biasanya dilakukan oleh wanita (ibu) dapat digantikan oleh pria (ayah).
Contoh lain, mencangkul, menyembelih ayam dan lain-lain yang biasa dilakukan
oleh pria (ayah) dapat digantikan oleh wanita (ibu).
Dikemukakan oleh Bemmelen (2002), beberapa ciri gender
yang dilekatkan oleh masyarakat pada pria dan wanita sebagai berikut. Perempuan
memiliki ciri-ciri: lemah, halus atau lembut, emosional dan lain - lain.
Sedangkan pria memiliki ciri-ciri: kuat, kasar, rasional dan lain-lain. Namun
dalam kenyataannya ada wanita yang kuat, kasar dan rasional, sebaliknya ada
pula pria yang lemah, lembut dan emosional. Beberapa status dan peran yang
dicap cocok atau pantas oleh masyarakat untuk pria dan wanita sebagai berikut:
4) Untuk
Perempuan
a) Ibu rumah tangga
b) Bukan pewaris
c) Tenaga kerja
domestic (urusan rumah tangga)
d) Pramugari
e) Panen padi
5) Untuk Laki-Laki
a) Kepala keluarga /
rumah tangga
b) Pewaris
c) Tenaga kerja
public (mencari nafkah)
d) Pilot
e) Pencangkul lahan
Dalam kenyataannya, ada pria yang
mengambil pekerjaan urusan rumah tangga, dan ada pula wanita sebagai pencari nafkah
utama dalam rumah tangga mereka, sebagai pilot, pencangkul lahan dan lain-lain.
Dengan kata-kata lain, peran gender tidak statis, tetapi dinamis (dapat berubah
atau diubah, sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi).
Berkaitan dengan gender, dikenal ada tiga jenis peran
gender sebagai berikut:
1) Peran produktif
adalah peran yang dilakukan oleh seseorang, menyangkut pekerjaan yang
menghasilkan barang dan jasa, baik untuk dikonsumsi maupun untuk
diperdagangkan. Peran ini sering pula disebut dengan peran di sektor publik.
2) Peran reproduktif
adalah peran yang dijalankan oleh seseorang untuk kegiatan yang berkaitan
dengan pemeliharaan sumber daya manusia dan pekerjaan urusan rumah tangga,
seperti mengasuh anak, memasak, mencuci pakaian dan alat-alat rumah tangga,
menyetrika, membersihkan rumah, dan lain-lain. Peran reproduktif ini disebut
juga peran di sektor domestik.
3) Peran sosial
adalah peran yang dilaksanakan oleh seseorang untuk berpartisipasi di dalam
kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti gotong-royong dalam menyelesaikan
beragam pekerjaan yang menyangkut kepentingan bersama. (Kantor Menteri Negara
Peranan Wanita, 1998 dan Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003).
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
1) Peranan merupakan
aspek dinamis dari kedudukan, yaitu seseorang yang melaksanakan hak-hak dan
kewajibannya. Artinya, apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya
sesuai dengan kedudukannya, maka dia telah menjalankansuatu peranan.
2) Status merupakan perwujudan atau pencerminan dari
hak dan kewajiban individu dalam tingkah lakunya. Status social sering pula
disebut sebagai kedudukan atau posisi, peringkat seseorang dalam kelompok
masyarakatnya.
3) Status dan peran pria dan wanita berbeda
antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, yang disebabkan oleh
perbedaan norma sosial dan nilai sosial budaya. Nilai-nilai tersebut
menentukan peranan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan pribadi dan dalam
setiap bidang masyarakat. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa gender adalah
perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan karena konstruksi sosial,
dan bukan sekadar jenis kelaminnya. Dengan sendirinya gender dapat berubah dari
waktu ke waktu sesuai kontruksi masyarakat yang bersangkutan tentang posisi
peran laki-laki dan perempuan.
B.Saran
Mengupayakan peranan wanita yang
berwawasan gender, dimaksudkan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender
di dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini perlu didukung oleh perilaku saling
menghargai atau menghormati, saling membantu, saling pengertian, saling peduli
dan saling membutuhkan antara pria dengan wanita.
SUMBER
http://ayonfriday.blogspot.com/2013/04/makalah-tentang-hubungan-antara-peran.html
haqfaisol.files.wordpress.com/2012/05/makalah-gender.docx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar