Nilai Rupiah yang Mengejutkan
Rupiah kini sudah memuncak ketinggiannya hingga tak sangka
harga bahan pokok dan yang lainnya melonjak naik. Nilai tukar rupiah menguat
tajam sepekan terakhir setelah didera pelemahan selama berbulan-bulan. Banyak
yang terkejut, tetapi sebagian lain menganggukkan dagu karena ada banyak
sentimen positif dari domestik yang seharusnya bisa memperkuat nilai tukar
rupiah.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar
Rate pada Jumat (9/10/2015), nilai tukar rupiah ada di level Rp 13.521
perdollar AS. Posisi nilai tukar rupiah itu menguat hingga 8,78 persen selama
sepekan. Jumat pekan lalu, nilai tukar menurut kurs referensi Jisdor berada di
posisi Rp 14.709 per dollar AS.
Di pasar valuta asing tunai (spot), nilai tukar rupiah
bahkan sempat menyentuh Rp 13.281 per dollar AS. Di tengah tren penguatan mata
uang dollar AS yang terjadi sejak 2 tahun belakangan ini, penguatan nilai tukar
rupiah menjadi harapan baru. Hingga September lalu, kita masih gamang karena
bank sentral AS, The Fed, tidak juga memberikan kejelasan kapan akan menaikkan
suku bunga acuan dari posisi 0,25 persen. Suku bunga acuan itu sudah bertahan
selama 7 tahun sejak The Fed membuat kebijakan menggelontorkan likuiditas demi
mendorong perekonomian.
Ketidakpastian mengenai kapan dan berapa besar kenaikan suku
bunga acuan itu adalah salah satu dari beberapa sentimen pasar global yang
menyebabkan terjadinya fenomena 'super dollar', yakni terus menguatnya nilai
tukar dollar AS terhadap mayoritas mata uang dunia. Selain faktor suku bunga The
Fed, sentimen yang juga mendorong penguatan dollar AS adalah kelanjutan utang
luar negeri Yunani dan devaluasi mata uang Tiongkok, yuan.
Pelemahan nilai tukar rupiah meningkatkan risiko pada
perekonomian nasional di tengah masih melambatnya tren pertumbuhan produk
domestik bruto. Risiko itu meningkat karena utang luar negeri korporasi swasta
terus meningkat dan industri manufaktur masih bergantung pada bahan baku impor.
Dengan nilai tukar rupiah yang melemah, korporasi swasta harus mengalokasikan
dana berdenominasi rupiah yang lebih besar untuk membayar cicilan dan bunga
utang luar negeri berdenominasi valuta asing.
Data perekonomian AS jugalah yang awalnya memicu pelemahan
mata uang dollar AS pekan lalu. Kinerja perekonomian AS selama September lalu hanya
menghasilkan 142.000 lapangan kerja baru dari ekspektasi sebanyak 220.000
lapangan kerja baru. Data terbaru itu makin menguatkan sinyal bahwa The Fed
akan kembali menunda kenaikan suku bunga acuan tahun 2015 dan mungkin bergeser
ke paruh pertama 2016.
Spekulasi itu kemudian menyebabkan banyak investor global
kembali ke negara-negara dengan potensi pertumbuhan ekonomi yang masih
menjanjikan, seperti Indonesia. Itu bisa dilihat dari masuknya lagi modal asing
ke pasar sekunder surat utang negara dan pasar modal. Pada saat yang sama,
banyak investor mulai menimbang makin seriusnya Pemerintah Indonesia, Bank
Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan dalam menderegulasi sejumlah kebijakan.
Kombinasi faktor AS dan makin positifnya sentimen domestik itu mendorong penguatan
rupiah yang sangat tajam.
Penguatan rupiah itu sebetulnya bisa dipahami karena dalam
beberapa bulan terakhir, pelemahan nilai tukar rupiah dipengaruhi juga oleh
faktor spekulasi. Nilai tukar rupiah tidak mencerminkan fundamen ekonomi
Indonesia. Hal ini antara lain bisa terlihat dari nilai efektif nilai tukar
(REER) rupiah yang berada di level 89 atau tergolong terlalu rendah
(undervalue) karena berada di bawah 100. Di posisi Rp 13.800, nilai tukar
rupiah masih undervalue. Ketika menyentuh Rp 13.500, rupiah pun masih
undervalue. Bank Indonesia masih yakin, nilai tukar rupiah yang mendekati nilai
fundamen ekonomi Indonesia itu berada di sekitar REER level 97.
Penguatan rupiah diharapkan tidak hanya terjadi sesaat
karena investor pasar global menjual valuta asing dalam bentuk dollar ASuntuk
membeli saham di pasar modal Indonesia. Hal ini terlihat dari terus
meningkatnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam beberapa hari terakhir.
Diharapkan, penguatan terjadi secara berkelanjutan karena investor makin
percaya pada kinerja perekonomian nasional dan pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar